USAHA BANK GELAP RENTENIR

Sumber Foto: bloktuban.com

Putusan:

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 25/Pid/1981, tanggal 25 Mei 1982

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No. 111/1982/PT.Pidana tanggal 15 November 1982

Mahkamah Agung RI No. 316.K/Pid/1983, tanggal 28 Agustus 1989.

Catatan :

Dari putusan Mahkamah Agung tersebut diatas, maka kita dapat menarik “Abstrak Hukum” sebagai berikut:

Hubungan hukum “ “Hutang Piutang Uang” yang oleh Kreditur diberikan selubung,  sebagai hubungan hukum “Jual Beli Rumah dengan Hak Beli Kembali” sebagaimana yang dimaskud pasal 1519 s/d 1532 Burgurlijke Wetboek, maka usaha/ perbuatan pemilik yang demikian itu oleh Mahkamah Agung dinilai seagai “suatu Usaha Per-Bank-an” yang menurut Undang-Undang No. 14/1967 usaha tersebut wajib memperoleh izin dari Pemerintah cq Menteri Keuangan RI.

Bilamana usaha “Perbankan” tersebut, tidak ada izin dari pemerintah, maka perbuatan ini dikwalifisir sebagai “perbuatan Pidana – Kejahatan – yaitu “ Menjalakankan Usaha Bank tanpa izin dari Menteri Keuangan RI”

Disamping itu perbuatan tersebut juga melangar ketentuan Geldschieter Ordonanntie Stb 1938/523.

Ditinjau dari Hukum Perdata, maka perbuatan Terdakwa tersebut diatas dapat dituntut pembatalannya kepada Hakim Perdata oleh para debitur.

Perjanjian yang bersifat “Riba” atau ‘Rentenir” (Woeker) ini, dapat dibatalkan oleh Hakim Perdata atas gugatan pihak debiturnya/. Alasan yang dapat dikemukakan oleh debitur: bahwa pada saat perjanjian tersebut dibuat para debitur dalam keadaaan posisi yang sangat lemah dan terdesak oleh kebutuhan  uang. Debitut tidak mempunyai pilihan lain, sehingga dengan patuh mengikuti saja apa yang dikehendaki oleh Kreditur. Perjanjian  yang dibuat dengan syarat yang memberatkan debitur itu, terpaksa diterima oleh Debitur.  

Menghadapi perjanjian yang bersifat Riba/ woeker tersebut, maka Hakim dapat melumpuhkan kekuatan perjanjian tersebut dengan cara menafsirkan; bahwa proses terjadinya perjanjian tersebut terdapat cacat kehendak (wilsgebrek) dari salah satu pihak yang mengadakan perjanjian itu. Faktor Wilsgebrek ini timbul, karena kreditur telah “menggunakan” kesempatan dalam dalam kesempitan” atau “misbruik van omstandigheden”.

Bentuk Perjanjian Jual – Beli Tanah dengan Hak Membeli Kembali (seperti yang diatur dalam Burgurlijke Wetboek), menurut “yurisprudensi Tetap” dari Mahkamah Agung RI adalah “Batal Demi Hukum”

Lembaga hukum ini tidak dikenal lagi dalam Undang-undang Agraria Nasional No. 5/1960 jo P.P 10/1961.

Demikian catatan atas kasus ini.

(Ali Boediarto)

Dikutip dari Varia Peradilan (Majalah Hukum) Tahun V No. 60, September 1990, halaman 63-64    

Pemilihan naskah dilakukan oleh Irawan Harahap, S.H., .SE., M.Kn, CLA

Pengetikan dilakukan oleh tim Kantor Hukum Irawan Harahap & Rekan

Anda mungkin juga berminat