Sanksi Hukum Bagi Pengusaha Yang Telat Bahkan Tidak Membayar Upah Karyawan

Sumber foto : https://awsimages.detik.net.id/community/media/visual/2019/05/08/31517792-b8d3-4a71-b544-8dd3c1d31a27.jpeg?w=700&q=80

Apapun yang menjadi bidang sebuah perusahaan tempat karyawan pekerja, pengusaha memiliki kewajiban untuk membayar upah pekerja guna meningkatkan kinerja atau produktivitas karyawannya. Selain pemenuhan akan pembayaran upah saja, tetapi termasuk pembayaran jaminan kesehatan karyawan yang disertai dengan slip gaji sebagai bukti pembayaran. Permasalahan mengenai telat atau tidak dibayarnya gaji karyawan. Hal in tentu saja bertentangan dengan aturan hukum yang diatur didalam Pasal 1 angka 3 Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tentang defenisi pekerja yang menyatakan bahwa :

“Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.”

Terkait dengan defenisi pekerja ini dapat kita simpulkan bahwa adanya kata “bekerja” dan “upah” yang saling berkaitan satu sama lainnya sehingga upah ini menjadi Hak anda sebagai pekerja yang harus diperjuangkan selama kita bekerja.

Ketentuan pembayaran upah ini didukung dari isi pasal 93 ayat (1) dan (2) Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa :

(1) Upah tidak dibayar apabila pekerja/buruh tidak melakukan pekerjaan.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku, dan pengusaha wajib membayar upah apabila :

a. pekerja/buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

b. pekerja/buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;

c. pekerja/buruh tidak masuk bekerja karena pekerja/buruh menikah, menikahkan, mengkhitankan, membaptiskan anaknya, isteri melahirkan atau keguguran kandungan, suami atau isteri atau anak atau menantu atau orang tua atau mertua atau anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;

d. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena sedang menjalankan kewajiban terhadap negara;

e. pekerja/buruh tidak dapat melakukan pekerjaannya karena menjalan-kan ibadah yang diperintahkan agamanya;

f. pekerja/buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi pengusaha tidak mempekerjakannya, baik karena kesalahan sendiri maupun halangan yang seharusnya dapat dihindari pengusaha;

g. pekerja/buruh melaksanakan hak istirahat;

h. pekerja/buruh melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan pengusaha; dan

i. pekerja/buruh melaksanakan tugas pendidikan dari perusahaan.

Jadi dari ketentuan ini apabila Pengusaha melakukan ketelambatan pembayaran upah yang dikarenakan kesengajaan atau kelalaian, maka akan dikenakan denda sesuai dengan pesentase tertentu dari upah tenaga kerja. Lebih mendalam dapat kita lihat didalam pasal 55 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan mengenai jumlah denda yang dikenai kepada pengusaha yang mengatakan :

“(1) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai denda, dengan ketentuan:

a. mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung tanggal seharusnya Upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% (lima persen) untuk setiap hari keterlambatan dari Upah yang seharusnya dibayarkan;

b. sesudah hari kedelapan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditambah 1% (satu persen) untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari Upah yang seharusnya dibayarkan; dan

c. sesudah sebulan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b ditambah bunga sebesar suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah.

(2) Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar Upah kepada Pekerja/Buruh.”

Selain sanksi berupa denda, ada juga sanksi berupa sanksi pidana yang dapat kita perhatikan didalam  Pasal 186 ayat (1) dan (2) Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa :

“ (1) Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 93 ayat (2), Pasal 137, dan Pasal 138 ayat (1), dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tindak pidana pelanggaran.”

Selain pengenaan denda sebagaimana dijelaskan diatas, maka tidak dapat menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar upah kepada tenaga kerjanya. Begitu juga hal yang diuraikan diatas bahwa hal ini menjadi pokok permasalahan dalam Hubungan industrial. Oleh sebab itu, upaya yang dapat pekerja lakukan dalam menempuh jalur atau cara-cara  penyelesaian Perselisihan dengan pengusaha. Apabila kita perhatikan didalam Undang – Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yakni sebagai berikut :

  1. Jalur Bipartit

Menurut Pasal 3 ayat (2)  mengatakan bahwa “Penyelesaian perselisihan melalui bipartit sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.” Begitu juga dalam hal musyawarah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak. Sedangkan langkah yang dilakukan apabila gagalnya penempuhan penyelesaian jalur bipartit diatur didalam pasal 4 ayat (1) Undang – Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan yang menyatakan bahwa :

 “Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartite telah dilakukan.

2. Jalur Tripartit

Penyelesaian jalur Tripartit merupakan penyelesaian perselisihan dengan mediasi di mana yang menjadi mediatornya adalah pihak dari suku Dinas Tenaga Kerja Dan Tramsigrasi setempat, oleh sebab itu jalur tripartit ini memerlukan mediasi. Didalam pasal 1 angka 11 Undang – Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan yang menyatakan bahwa :

“Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.”

Apabila terciptanya kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalu jalur mediasi ini maka hal yang dilakukan diatur didalam Pasal 13 ayat (1) dan (2) huruf a dan b Undang – Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan yakni :

  1. Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
  2. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka :

a. Mediator mengeluarkan anjuran tertulis;

b. Anjuran tertulis sebagaimana dimaksud pada huruf a dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;

Apabila terjadi salah satu pihak yang menolah penyelesaian mediasi ini, maka hal yang dapat dilakukan dapat kita lihat didalam pasal 14 ayat (1) Undang – Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan yakni :

 “Dalam hal anjuran tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (2) huruf aditolak oleh salah satu pihak atau para pihak, maka para pihak atau salah satu pihak dapat melanjutkan penyelesaian perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.”

3. Jalur Pengadilan Hubungan Industrial

Jalur penyelesaian perselisihan dengan jalur ini secara jelas dapat kita lihat didalam pasal 5 Undang – Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan yang menyatakan bahwa :

“Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.”

Sumber :

Undang-Undang nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan

Undang – Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

Anda mungkin juga berminat