Ketentuan Hukum Terhadap Pelaksanaan Gugatan Sederhana

Gugatan sederhana atau small claim court  pasti sering kita dengar, dan membuat kita bertanya mengenai gugatan sederhana ini. Pengaturan mengenai Gugatan sederhana ini dapat kita lihat dan baca pada Buku Saku Gugatan Sederhana yang disusun oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indepedensi Peradilan (LeIP) serta Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana.

Penyelesaian Gugatan Sederhana menurut pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana, menyebutkan bahwa :

“Penyelesaian Gugatan Sederhana adalah tata cara pemeriksaan di Persidangan terhadap gugatan perdata dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) yang diselesaikan dengan tata cara dan pembuktiannya sederhana.”

Apabila kita memperhatikan perbedaan antara gugatan biasa dan gugatan sederhana, secara jelas tentang nilai kerugian materiil yang lebih khusus ditentukan pada gugatan sederhana dengan maksimal Rp. 200.000.000. Sedangkan pada gugatan perkara perdata biasa, pada nilai kerugian materiil tidak ada batasnya.

Menurut pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana menyatakan bahwa “gugatan sederhana diperiksa dan diputus oleh pengadilan dalam lingkup kewenangan peradilan umum”. Pengaturan ruang lingkup gugatan sederhana ini berdasarkan pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana yaitu :

1 . Gugatan sederhana diajukan terhadap perkara cidera janji dan/atau perbuatan melawan hukum dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)

2 . Tidak termasuk dalam gugatan sederhana adalah :

a. Perkara yang penyelesaian sengketanya dilakukan melalui pengadilan khusus sebagaimana diatur di dalam peraturan perundang-undangan; atau

b. Sengketa hak atas tanah.

Jadi, ruang lingkup gugatan sederhana seperti yang sudah dijelaskan pada ketentuan diatas berarti dalam gugatan sederhana diajukan terhadap perkara Wanprestasi (cidera janji) dan perbuatan melawan hukum dengan nilai gugatan materil paling banyak Rp. 200.000.000. Sebaliknya yang tidak boleh dimasukkan dalam gugatan sederhana adalah perkara yang penyelesaian sengkeanya dilakukan melalui pengadilan khusus sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan dan sengketa hak atas tanah.

Mengenai persyaratan untuk mengajukan gugatan sederhana, menurut pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana menyebutkan bahwa :

  1. Para pihak dalam gugatan sederhana terdiri dari penggugat dan tergugat yang masing-masing tidak boleh lebih dari satu, kecuali memiliki kepentingan hukum yang sama.
  2. Terhadap tergugat yang tidak diketahui tempat tinggalnya, tidak dapat diajukan gugatan sederhana.
  3. Penggugat dan tergugat dalam gugatan sederhana berdomisili di daerah hukum Pengadilan yang sama.
  4. Penggugat dan tergugat wajib menghadiri secara langsung setiap persidangan dengan atau tanpa didampingi oleh kuasa hukum.

Hukum acara dan tahapan penyelesaian dalam Gugatan sederhana ini diatur dalam pasal 5 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana yang menyebutkan bahwa :

(1) Gugatan sederhana diperiksa dan diputus oleh Hakim ynag ditunjuk oleh Ketua Pengadilan;

(2) Tahapan Penyelesaian Gugatan Sederhana meliputi :

a. Pendaftaran;

b. Pemeriksaan kelengkapan gugatan sederhana;

c. Penetapan Hakim dan penunjukan penitera pengganti;

d. Pemeriksaan pendahuluan;

e. Penetapan hari sidang dan pemanggilan para pihak;

f. Pemeriksaan sidang dan perdamaian;

g. Pembuktian; dan

h. Putusan.

(3) Penyelesaian gugatan sederhana paling lama 25 (dua puluh lima) hari sejak hari sidang pertama.

Pendahuluan dalam gugatan sederhana adalah Pemeriksaan yang menjadi tahapan paling krusial atau paling pertama dalam tahap ini, hakim memiliki wewenang menilai dan kemudian menentukan apakah perkara tersebut adalah gugatan sederhana. Saat melakukan pemeriksaan ini, hal yang dilakukan hakim saat pemeriksaan diatur dalam pasal 11 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana yang menyebutkan :

  1. Hakim memeriksa materi gugatan sederhana berdasarkan syarat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 3 dan Pasal 4 peraturan ini.
  2. Hakim menilai sederhana atau tidaknya pembuktian.
  3. Apabila dalam pemeriksaan, Hakim berpendapat bahwa gugatan tidak termasuk dalam gugatan sederhana , maka akim mengeluarkan penetapan yang menyatakan bahwa gugatan bukan gugatan sederhana, mencoret dari register perkara dan memerintahkan pengembalian sisa biaya perkara kepada penggugat.
  4. Terhadap penetapam sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak dapat dilakukan upaya hukum apapun.

Pada Putusan akhir Gugatan Sederhana ini, apabila para pihak merasa tidak setuju maka dapat mengajukan keberatan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah putusan diberitahukan. Keberatan ini dianggap sebagai putusan akhir dari majelis hakim, sehingga tidak tersedia upaya hukum banding, kasasi atau peninjauan kembali. Hal ini dipertegas melalui pasal 27 dan pasal 30 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana yang berbunyi :

Pasal 27

“Putusan terhadap permohonan keberatan diucapkan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah tanggal penetapan Majelis Hakim.”

Pasal 30

“Putusan keberatan merupakan putusan akhir yang tidak tersedia upaya hukum banding , kasasi atau peninjauan kembali.”

 

Sumber :

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penyelesaian Gugatan Sederhana

Buku Saku Gugatan Sederhana yang disusun oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Indepedensi Peradilan (LeIP)

Anda mungkin juga berminat