Kedudukan Utang Salah Satu Suami Isteri Tanpa Adanya Persetujuan Pasangan

Sumber foto : https://www.realtv.az/uploads/news/big/news_20190225095153.jpg

Di lingkungan sekitar rumah kita, pasti ada sekeluarga yang memiliki permasalahan didalam keluarganya karena salah satu pihak suami ataupun isteri yang memiliki utang tanpa adanya pesetujuan salah satu pasangannya. Bahkan permasalahan ini bisa menjadi suatu alasan pasangan suami isteri ini menempuh jalan perceraian karena salah satu pasangan merasa bahwa utang tersebut tidak menjadi tanggung jawabnya karena tanpa adanya persetujuan salah satu pihak selaku keluarga.

Sebuah tindakan hukum yang dilakukan dalam suatu ikatan perkawinan, apalagi mengenai harta bersama yang dilakukan oleh suami atau istri seharusnya mendapatkan persetujuan dari pasangannya. Mengenai hal ini pada dasarnya dapat kita lihat didalam pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawninan yang menyatakan bahwa :

 (1) Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.

(2) Mengenai harta bawaan masing-masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Berarti pada dasarnya hukum diatas memperjelas bahwa mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak apabila ada persetujuan kedua belah pihak. Hal ini juga dipertegas didalam pasal 92 Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan : “Suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama.”

Wah sudah tentu menjadi sangat jelas lagi yah sahabat yuridis, bahwa dalam sebuah keluarga tidak di perbolehkan melakukan perjanjian utang dengan orang lain tanpa adanya persetujuan dari salah satu pihak. Tetapi apabila utang tersebut digunakan demi kepentingan pribadi istri atau kepentingan keluarga, maka pertanggung jawaban atas pembayaran utang tersebut dilimpahkan kepada Harta Bersama mereka berdua. Karena pembayaran utang ini didasarkan pada pasal 93 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa :

“Pertanggungjawaban terhadap hutang yang dilakukan untuk kepentingan keluarga, dibebankan kepada harta bersama.”

Beda halnya dengan utang yang dibuat tersebut hanya untuk memenuhi kebutuhan pribadi istri atau suami, maka yang akan bertanggung jawab atas utang tersebut adalah masing-masing pihak yang berhutang. Begitu juga dengan utang yang timbul akibat salah satu pihak yang menggunakannya karena melakukan perawatan maka pelunasan juga tidak dapat diberatkan ke harta bersama. Pernyataan ini juga diatur didalam Pasal 93 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam yang menyatakan bahwa : “Pertanggungjawaban terhadap hutang suami atau isteri dibebankan pada hartanya masing-masing.”

Oleh sebab itu, Perjanjian utang-piutang ini dilakukan selama masih terjalinnya ikatan perkawinan dan juga uang dari hasil perjanjian utang-piutang ini pada dasarnya harus digunakan untuk kepentingan keluarga. Jika penggunaan utang itu digunakan demi kepentingan pribadi suami atau istri, maka seharusnya yang paling utama harus mendapatkan persetujuan terlebih dahulu.

Sumber :

  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawninan
  • Kompilasi Hukum Islam
Anda mungkin juga berminat