KASUS TANAH ADAT IRIAN JAYA SURAT KETUA MAHKAMAH AGUNG

Pengadilan  Negeri Di Jayapura:

No.39/Pdt/G/1984/ PN.Jpr, tanggal 18 Juni  1985

Pengadilan Tinggi Irian Jaya:

No.31/Pdt/1985/PT.Jpr, tgl 27 November 1985

Mahkamah Agung Republik Indonesia (dalam Pemerisaan Kasasi)

No.2322.K/Pdt/1968, tgl 30 Maret 1985.

Catatan :

  • Dari putusan Mahkamah Agung tersebut diatas dapat disarikan dan dicatat beberapa hal sebagai berikut:
  • Majelis Hakim Agung tingkat Kasasi: No. 2322 K/Pdt/1986,memberikan putusan menolak gugatan yang diajukan oleh penggugat Hanoch Hebe Ohee, dengan alasan juridis:
  • Dalam proses verbal 27 Februari 1957, terbukti bahwa penggugat Hebe Ohee, telah menerima uang ganti rugi dari pemerintah Hindia Belanda ( New Guinea), baik untuk tanahnya maupun untuk tanaman yang ada diatasnya.
  • Secara juridis, jual-beli tanah adat tersebut antara pemerintah Hindia Belanda dengan Penggugat telah selesai dan tuntas. Karena itu tanah tersebut langsung dikuasai oleh Negara Republik Indonesia sebagai penerus hak atas wilayah Republik Indonesia dari tanggan Hindia Belanda;
  • Majelis Hakim Agung tingkat Peninjauan Kembali memberikan putusan : mengabulkan gugatan yang diajukan oleh Penggugat HEBE OHEE, berdasarkan atas alasan juridis, bahwa putusan Majelis Kasasi terdapat kekhilafan atau kekeliruan yang nyata:
  • Pembayaran uang ganti rugi f 10.000,00 kepada Penggugat, tidak jelas apakah untuk tanamannya saja ataukah termaksuk hanya tanahnya;
  • Adanya kesanggupan dari Pemerintahan Daerah Tingkat I Propinsi Irian Jaya untuk memberikan uang ganti rugi kepada Penggugat HEBE OHEE, bukan merupakan pernyataan yang politis, melainkan bersifat juridis;
  • Amar putusan Majelis kasasi yang menetapkan, bahwa tanah sengketa adalah tanah yang dikuasai Negara, adalah merupakan kesalahan atau kekhilafan yang nyata dari Hakim, karena hal tersebut tidak pernah dimohon oleh para Penggugat dalam surat gugatannya;
  • Berdasarkan atas alasan juridis ini, maka permohonan Penijauan  Kembali dikabulkan dan para Tergugat I, Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya berserta para Tergugat lainnya, Kepla Dinas Kantor Tingkat Propinsi, dihukum membayar ganti rugi kepada Penggugat Rp. 18.600.000.000,- (delapan belas milyard enan ratus juta rupiah), karena telah melakukan perbutan melawan hukum;
  • setelah putusan Mahkamah Agung dalam pemeriksaan Peninjauan Kembali, No. 381 PK/Pdt/1989, diberitahukan kepada para pihak, maka:
  1. Pihak Penggugat mohon agar putusan No. 381 PK/Pdt/1989 segera dilaksanakan eksekusinya;
  2. Pihak Tergugat (Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya) mohon agar putusan tersebut ditangguhkan eksekusinya;
  • sehubungan dengan permohonan kedua belah pihak, Penggugat dan Tergugat tersebut diatas , maka Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia tanggal 5April 1995 No. KMA/126/iv/1995, Kepada Ketua Pengadilan Negeri Jayapura, Irian Jaya, yang isinya sebagai berikut:

“sehubungan dengan surat permohonan sdr. Gubernur Kepla Daerah Tingkat I Irian  Jaya dan Jhon P. Pattiwary, SH, (Kuasa Penggugat) perihal……dst.,

Maka setelah permaslahannya dipelajari, dengan ini diberitahukan  bahwa karena yang dihukum untuk membayar uang ganti rugi Kepada Penggugat itu, adalah: Gubernur/Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya dan Kepala Pertanian, Kepala Perkerbunan, Kepala Kehutanan, Kepala Pertenakan, Kepala Perikanan dari Provinsi Irian Jaya;

Adalah bukan  Badan Hukum Publik( yang tidak mempunyai harta kekayaan tersendiri), maka putusan Mahkamah Agung Rebpublik Indonesia No. 381 PK/ Pdt/1989, tidak dapat dieksekusi,

Demikian untuk diperhatikan.

  • Dalam putusan Kasasi dan Peninjauan Kembali, mereka; Gubernur/ Kepla Daerah Tingkat I dan Kepala Kantor Tingkat Provinsi adalah subject hukum yang dihukum membayar ganti rugi;
  • Sebaliknya dalam surat Ketua Mahkamah Agung No. KMA/126/iv/1995 maka Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia menilai bahwa mereka: Gubernur Plus Kepala Kantor  tersebut adalah bukan Badan Hukum Publik (yang mempunyai kekayaan tersendiri), sehingga putusan Hakim  Peninjauan Kembali yang menghukum meraka (Gubernur cs), tidak dapat dieksekusi;
  • Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Irian Jaya, Kepala Pertanian, Perikanan,….dst. dari Provinsi Tingkat I Irian Jaya yang dinilai  Publik, didasari oleh Ketua Mahkamah Agung, bukan merupakan Badan Hukum Publik,didasari oleh argumentasi juridis sebagai berikut:

“suatu badan hukum adalah badan yang mempunyai harta kekayaan tersendiri mempunyai hak dan kewajiban  sendiri, terpisah dari pengurusnya atau yang mewakili badan  hukum tersebut.  Gubernur Kepala Daerah Tiangkat I  adalah Propinsi Irian Jaya sebagai Pejabat Negara yang bersetatus mewakili Daerah Tingkat I;

Dalam ajaran  Perwakilan  terdapat prinsip bahwa “orang yang mewakili” bertindak untuk atas nama “ orang yang diwakilinya. Dengan demikian dalam lalu lintas hukum  atau dalam gugatan hukum perdata, maka status hukum “ Gubernur Kepala Daerah Tingkat I “ adalah  “Wakil” dari Daerah Tingkat I-nya yang berstatus sebagai Badan Hukum Publik;

  • Pasal 23 (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 yang menyebutkan bahwa Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Mewakili Daerahnya “ didalam” dan “diluar” Pengadilan harus diartikan bahwa “ Gubernur” disini hanya berstatus sebgai “ yg mewakili” sedangkan “ badan Hukum Publik”-nya adalah “Daerah Tingkat I”. Tanggung Jawab Juridis tetap ada pada Badan Hukum Publik  yang diwakili oleh Gubernur tersebut;
  • Surat Ketua Mahkamah Agung Repbuplik Indonesia No. KMA/126/IV/1995, tanggal 5 Maret 1995 tersebut merupakan tindakan Ketua Mahkamah Agung berupa” suatu pertunjuk dan pengawas terdapat Badan Peradilan, sesuai dengan wewenangnya” ex pasal 32 (1) (4) Undnag-Undang No. 14 Tahun 1984; yaitu:

Menerima , memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.  Dan masalah eksekusi putusan  hakim masih termaksud dalam lingkup “menyelesaikan” perkara;

  • Surat Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia yang berisi petunjuk dan pengawasan  terhadap jalannya Badan Peradilan itu, sudah sering diterbitkan.

Dan Surat Ketua Makhamah Agung  No. KMA/126/IV/1995 tersebut tidak membatalkan atau tidak meniadakan putusan Mahkamah Agung atas Peninjauan Kembali No. 381 PK/Pdt/1989. Hanya Ekasekusinya Putusan tersebut yang tidak dapat dilaksanakan;

  • Demikian catatan atas kasus ini;

Sumber : Majalah Hukum Varia Peradilan No.117. Tahun. X. Juni. 1995.  Hlm.5

Anda mungkin juga berminat