Gagal Memenuhi Isi Perjanjian, Wanprestasi atau Tindak Pidana Penipuan?

Sumber Foto: www.prfmnews.com

Pertanyaan:

Kepada Pengasuh Rubrik Tanya Jawab,  saya beberapa waktu lalu mengadakan kerjasama usaha dengan orang lain, yang dituangkan dalam sebuah perjanjian tertulis.

Namun  jalannya usaha tidak seperti yang saya duga dan saya kesulitan untuk mengembalikan modal kepada pihak mitra usaha saya. Masalahnya mitra usaha saya tidak mau tahu dengan keadaan saya, dan dia mengancam akan melaporkan saya telah melakukan tindak pidana penipuan. Padahal saya sudah bertanya dengan rekan saya yang berlatar belakang pendidikan hukum, menurutnya saya wanprestasi dan bukan melakukan penipuan.

Apakah keadaan yang saya hadapi ini bisa menyebabkan saya terkena sanksi hukum karena saya telah melakukan penipuan?. Mohon pencerahannya ya . Terima kasih sebelumnya.

Jawaban:

Persoalan yang diajukan dalam tanya jawab kali ini adalah salah satu persoalan yang sering ditanyakan oleh para pembaca www.yuridis.id kepada kami. Mendasarkan pada uraian dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung disebutkan konsep perjaniian pada dasarnya adalah hubungan keperdataaan yang diatur dalam Burgerlijk Wetboek (BW). Menurut kami, apabila orang yang telah terikat sebuah perjanjian dan tidak dapat memeunhi janjinya, maka orang tersebut lebih tepat dikategorikan melakukan wanprestasi atau cidera janji.

Namun, dalam keseharian sering terjadi pelaporan dugaan tindak pidana penipuan oleh pihak yang merasa dirugikan atas tidak terpenuhinya janji Terlapor, sementara Pelapor telah menyerahkan sejumlah uang atau barang kepada Terlapor. Pertanyaan yang timbul kemudian, apabila keadaan ini terjadi, penyelesaian hukum mana yang lebih tepat dilakukan, apakah dengan mengajukan gugatan wanprestasi? Atau melakukan laporan dengan dugaan terjadinya tindak pidana penipuan?.

Terhadap permasalahan ini, Mahkamah Agung telah konsisten berpendapat bahwa apabila seseorang tidak memenuhi kewajiban dalam sebuah perjanjian, dimana perjanjian tersebut dibuat secara sah dan tidak didasari itikad buruk, maka perbuatan tersebut bukanlah sebuah penipuan, tapi masalah keperdataan sehingga orang terseut harus dinyatakan lepas dari segala tuntutan.

Putusan Nomor 95K/Mil/2014 menyebutkan:

“Bahwa melihat fakta tersebut diatas, maka kasus a quo adalah termasuk dalam ranah perdata, karena telah terbukti adanya perbuatan hukum jual beli kuda-kuda antara Terdakwa dengan Saksi Ahmad Lamo dengan perjanjian pembayarannya adalah setelah kuda-kuda in casu habis terjual, dan secara kenyataannya Terdakwa juga telah melakukan kewajibannya  membayar biaya pembeliannya yang sampai dengan sekarang ini belum seluruhya terbayarkan, hal tersebut adalah termasuk wanprestasi, yang diselesaikan melalui gugatan perdata.”

Putusan Nomor 157K/ Mil/ 2016 menyatakan:

“Bahwa kemudian sesuai dengan kesepakatan tersebut, PT. Mitrakita Gemilang Sejahtera telah membayarkan uang muka sebesar Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) kepada Terdakwa dan selanjutnya sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) ditransfer melalui Terdakwa, dan oleh Terdakwa semua uang tersebut telah diserahkan kepada H. Mamat Suryana. Demikian pula PT. Mitra Gemilang Sejahtera telah menyerahkan 1 (satu) unit mobil Toyota Alphard kepada H. Mamat Suryana, namun ternyata dikemudian hari pembayaran cicilan mobil Toyota Alphard oleh PT. Mitra Gemilang Sejahtera telah menunggak selama 10 (Sepuluh) bulan sehingga mobil Toyota Alphard tersebut disita/ ditarik oleh pihak pemberi leasing (BCA Finance).

Putusan Nomor 1601 K/Pid/1990 menyatakan:

“Bahwa apabila perbuatan yang mengakibatkan gagalnya perjanjian terjadi setelah perjanjian dilahirkan, maka akibat hukum yang timbul adalah wanprestasi yang merupakan ranah hukum perdata”

Putusan Nomor 598 K/Pid/2016 menyatakan:

“Terdakwa terbukti telah meminjam uang kepada saksi Wa Ode Ikra Binti La Ode Mera (Saksi Korban) sebesar Rp. 4.750.000,00 (empat juta tujuh ratus lima puluh ribu rupiah), namun Terdakwa tidak mengembalikan  hutang tersebut kepada saksi korban sesuai dengan waktu yang diperjanjian, meskipun telah ditagih berulang kali oleh saksi korban, oleh karenanya hal tersebut  sebagai hubungan keperdataan bukan sebagai perbuatan pidana sehingga penyelesaiannya merupakan domain hukum perdata, dan karenanya pula terhadap Terdakwa harus dilepaskan dari segala tuntutan hukum”

Putusan Nomor 1357 K/Pid/2015 menyatakan:

“ Bahwa berdasarkan fakta tersebut, Mahkamah Agung berpendapat bahwa hubungan hukum yang terjalin antara pada Terdakwa dengan saksi korban adalah hubungan keperdataan berupa hubungan hutang piutang dengan jaminan sebidang tanah kebun dan tanah atau rumah milik Para Terdakwa, dan ternyata dalam hubungan hukum tersebut Para Terdakwa melakukan ingkar janji atau Wanprestasi dengan cara tidak menyerahkan tanah kebun dan tanah atau rumahnya kepada saksi korban. Perbuatan Para Terdakwa tersebut bukan merupakan tindak pidana, akan tetapi perbuatan Para Terdakwa tersebut merupakan perbuatan yang bersifat keperdataan yang penyelesaiannya dapat ditempuh melalui hukum keperdataan”

Sebagai penutup jawaban kami, maka dapat disimpulkan dengan mengacu sikap hukum Mahkamah Agung, dapat di peroleh kaidah hukum:

Para pihak yang tidak memenuhi kewajiban dalam perjanjian yang dibuat secara sah bukan penipuan, tapi wanprestasi yang masuk dalam ranah keperdataan, kecuali jika perjanjian tersebut didasari dengan itikad buruk/ tidak baik.

Demikian jawaban yang kami berikan, semoga bermanfaat.

Irawan Harahap

Founder & Owner www.yuridis.id

Founder & Owner Harahap Legal Training

Founder & Owner Kantor Hukum dan Konsultan Kekayaan Intelektual Terdaftar Irawan Harahap & Rekan

Advokat – Konsultan HKI – Mediator Bersertifikat – Auditor Hukum – Perancang Kontrak

WA (only): 081266753056

Anda mungkin juga berminat